KARYA KIKY
“ELO
PERGI…!!” teriak Nino keras. Aku terkejut.
“Nino!!
Jangan teriak-teriak gitu ah.. malu kan keliatan orang disini” Kataku kemudian
menenangkan dia.
“Eh, elo tuh
ya,, Elo itu tuh yang bikin gue malu..!! ” Sahut Nino.
“Yaa, tapi
kan,” jawabku kemudian.
“Udah, gue
minta elo pergi!!” potong Nino menahan emosinya. “PERGI..!!!” tangannya
mengacungkan keluar kafe.
“oke,oke..
deal gue pergi, tapi gue gak punya tumpangan, anterin yaah.. uang gue habis
niih buat naik angkot, lagian udah malem gini No, Please…” jawabku dengan
tampang memelas.
“Dasar elo
ini yaa, gak punya rasa malu, elo itu udah bikin gue malu dihadapan gebetan gue
sendiri,, mau elo itu apa sih??” Tanya Nino gemas.
“Yee, siapa
bilang mau dibikin malu, elonya aja yang ga pantes buat dia…” jawabku lagi.
“ooh,,
gitu?? Terus yang pantes buat gue itu siapa? Gue heran deh, lu itu hobby banget
ya gangguin orang kaya gini??” Tanya Nino lagi.
Aku hanya
garuk-garuk kepala yang sama sekali tidak gatal.
“Udah, ah,
males gue berantem sama lu, bisa mati berdiri jadinya gue.” Dengus Nino sambil
beranjak pergi. Aku terkejut dia ninggalin aku begitu saja.
“Eh, Ninoo!!
Tunggu…!! Gue pulang gimana??” tanyaku sambil berteriak.
Nino hanya
mengangkat satu tangan saat dia menuju mobil ferrarinya.
“Bodo
amat..” jawabnya singkat. Eugh!!
***
Pagi ini aku
kembali berlari menuju kelas.
Telat!
Telat! Telat!
Sesampai di
depan kelas bel pun berbunyi. Yes, sempat!!
Aku bersorak
kegirangan. Kemudian menuju kursi dan meletakkan tas. Ke 2 sahabatku Miranda
dan Kiki kompak menyambutku dengan antusias.
“Ini dia
niih Olin Calina si gadis upik abu, kalo pagi kerjaannya terlambat mulu, gara-gara
di suruh bersihin rumah dari debu” kata Miranda asal, diiringi tepuk tangan
Kiki yang merasa takjub atas perkataan Miranda barusan.
Buru-buru
aja aku jitak barengan dua kepala sohib gue ini. Biar tahu rasa, enak aje
ngatain aku seperti itu.
“Eh, kalian
liat Nino gak??” Tanya ku kemudian.
“Gak tuh”
jawab mereka bersamaan.
“Emang
kenapa Lin??” Tanya Kiki kemudian, sambil memelintir rambut ikalnya.
“ah, enggak,
cuman gue perhatiin kok dia gak keliahatan yaa??” sahutku sambil
celingak-celinguk.
“biasa,
paling juga kabur, kan tiap hari lo hampir absen di kelasnya” jawab mereka
asal.
“Hehe, bener
juga ya” aku cengengesan.
***
Seorang
pangeran kecil tampan yang muram. Sedang berdiri di balkon, dengan menatap
lurus pada biasan cahaya bintang yang terjumlah kiranya. Ibunda datang
menghampiri. Mengusap perlahan kepala sang pangeran kecil itu.
“Apa yang
kau tatap wahai pangeran kecilku?” tegurnya lembut.
“Kerlip
bintang wahai ibunda” jawab sang pangeran. Sesaat ibunda terdiam, kemudian
menolehkan pandangan ke samudera langit malam itu. Sang pangeran menghela
nafas.
“Ibunda,
dalam beberapa hari ini aku bermimpi bertemu seseorang yang aneh rupanya”.
Kemudian
Baginda ratu menolehkan wajahnya kea rah pangeran kecilnya itu.
“Ada apa
gerangan, wahai putera kesayanganku?” Tanya Ratu.
Pangeran
kecil itu menggeleng lemah, kemudian melanjutkan ceritanya.
“Entahlah
bunda, waktu itu, aku sedang bermain piano dengan harmoni bintang, bukan piano sungguhan, hanya sebuah lukisan
piano, yang dapat dimainkan dengan menyentuhnya, tak terkira indah melodinya
saat itu bunda”
“Pada saat
itu juga, datanglah seorang yang aneh bentuk rupa dan suara dalam suatu cahaya
yang entah dari mana berasal, dia meminta kepadaku alunan nada itu,
ditukarkannya pada kegembiraanku bunda, dan seketika itu juga lukisan piano itu
hilang” cerita pangeran.
“Tapi wahai
ananda ku , bukankah itu hanya bunga tidur? Hanya mimpi, jangan dirisaukan”
tenang bunda.
“Tapi, bunda
tanpa rasa bahagia, bagaimana mungkin aku dapat hidup? Kalau dihadapanku hanya
ketidakbahagiaan yang kuhadapi?? ” jawab pangeran dengan muram.
Bunda
terdiam. Oh, teganya orang aneh itu menukarkan kegembiraan kepada pangeran
kecilku!
***
Sore itu
suasana di kota terasa mendung. Awan-awan hitam berkabut menutupi sebagian
wilayah yang jarang disinari oleh hangatnya cahaya matahari. Di tengah
dinginnya hawa saat itu, aku bermimpi lagi. Kenapa aku sering berimajinasi?
Bahkan sejak kecil aku selalu bermimpi dalam kelanjutan cerita yang sama dan
selalu merasa hal itu dejavu bagiku. Tapi, entahlah. Ini sangat sulit bagiku.
Yang aku bisa merasakan kegundahan anak itu. Aku juga bisa meraskan perasaan
kalut darinya.
Aku menatap
jam layar handphoneku.
15.35!?
“Gawat!
Nanti keburu galerinya tutup!!” Segera kuambil jaket dan kemudian bergegas
pergi.
***
Saat itu
hujan mulai turun.
Aku pergi ke
galeri itu.Dengan ditemani seorang sopir ayah, kami segera bergegas berangkat.
Hujan mulain
deras, samar-samar kulihat dari jendela mobil ada orang yang berjalan terkulai-kulai
memegang perutnya.
Tunggu dulu!
Itu kan Nino!
“Pak,
berhenti dulu!!” sahutku setengah berteriak.
Aku membuka
pintu mobil, dan berlari kearah orang itu.
“Nino..!!”
***
Saat itu
hujan turun deras sekali. Tapi lagi-lagi hal ini terjadi, perutku terasa sangat
sakit sekali dan penglihatanku mulai kabur. Hujan saat itu semakin membuat
penglihatanku kabur.
Samar-samar
kulihat ada seseorang berlari mendekatiku, tak jelas siapakah itu, lama-lama
semakin mendekat.
“Nino..!!
Nino…!! Hei!! Kamu kenapa??” Tanya suara itu panik.
Sekejap, aku
tidak ingat lagi apa yang dicapkannya. Sebab, aku sudah terkulai lemas
dihadapannya.
***
“Nyam..
Nyam..” cowok dihadapanku ini makan dengan lahapnya.
“Apa?? ”
tanyanya yang baru sadar beberapa waktu aku terus melihatnya.
“Haha!!
Ternyata, elo pingsan gara-gara kelaperan yaa??” tanyaku mengejek.
Cowok itu
hanya menjawab dengan ketus. “Bukan urusan eloo…!!”
Aku hanya
tersenyum mengejek sambil mengangkat bahu. “Okeey,”
“Anyway, loe
mau pergi kemana??” tanyaku.
“Gue mau ke
galeri lukisan” jawabnya pendek.
“Ng? berarti
kita sama dong? Gue juga mau kesana” sahutku.
“Oiya,
sekarang pukul berapa mbak??” tanyaku pada pelayan kafe, yang kebetulan lewat
di samping kami.
“17.30 non”
sahutnya menunjuk jam dinding yang tak jauh berada di bangku kami.
“Gawat! Nino
buruan habisin makanan lo, galerinya tutup 30 menit lagi” ingatku.
Dan kamipun
bergegas berangkat.
***
Mereka
berdua memasuki galeri lukisan itu. Galerinya lumayan sepi, hanya tinggal 2
sampai 3 orang saja yang masih bertahan di tempat itu.
Nino kembali
memandang lukisan itu.
Ya, lukisan
ini yang selalu ada dimimpiku. tanpa terasa
jarinya menyentuh tuts piano itu satu persatu.
“Lu.. Lu
kisan itu?” Tanya Olin tiba-tiba.
Dia perlahan
mendekati Nino, dirabanya lukisan piano itu.
“Elo juga
mendengarnya?” Nino terkejut.
Olin
mengangguk. “Ya, lukisan ini dan seseorang yang selalu datang dalam mimpiku,
beberapa hari yang lalu gue ngeliat ada pameran lukisan di galeri ini,
berhubung waktu itu Cuma nemenin nyokap, jadinya gue Cuma liat sekilas, makanya
gue balik lagi ke sini”
“Tunggu
sebentar, elo bisa mainin piano gak?” Tanya Nino.
“Iih,
pertanyaannya gak sopan! Tentu aja gak bisa” sahut Olin cengengesan.
“Tapi, gue
bisa kok satu lagu aja, ini lagu diajarin sama kakek dari kakeknya kakek gue,
istilahnya turun menurun gitu” kemudian Olin membuka kertas lusuh dari dalam
tas kecilnya. Di kertas itu hanya tertera not balok, dan nama judul lagunya pun
sudah pudar.
Olin memulai
menekan perlahan satu persatu tuts piano itu. Nino menyimak perlahan lagu yang
dimainkan oleh Olin, dia merasa mengenali nada itu…
“Hei,
jangan-jangan elo yang ada di mimpi itu??” Tanya Nino tiba-tiba.
“Maksudnya??”
Tanya Olin.
“Elo sadar
gak mengapa kita berdua saja yang dapat mendengar suara itu??”
“Itu karena kita mempunyai tanda lahir yang sama, yang berada
disini” jawab Nino menunjuk kuping Olin.
Olin cengengesan
, “berarti selama ini, elo selalu perhatiin gue yaa??” Tanya Olin blak-blakan.
“enggak”
jawab Nino singkat.
“ya? Ya?
Ya?” seruduk Olin.
“itu karena
lo sering gangguin gue, sering ketemu sama mak lampir, makanya gue nyadar ada
tahilalat nagkring di telinga lo…” jawab Nino.
“Ahh,
bodoo.. itu bukan tahilalat, ini tanda lahir… ini nooh, ini….” Olin menunjukkan
kupingnya.
Tanpa sadar
Nino tertawa kecil.
“Iih, ketawa…!!!
Alhamdulillah Ya Allah, akhirnya Nino bisa juga ketawa” kata Olin dengan
antusias.
Nino terkejut,
kemudian seketika memalingkan mukanya, merasa ada yang aneh pada dirinya
sekarang dan kemudian berbalik menuju pintu keluar.
“Eh, elu mau
kemana?”
Yang ditanya
hanya mengangkat tangannya, “gue cabut, DADAH!!!” jawabnya singkat.
Eugh!! Ini
nih yang sering bikin Olin gemas sama Nino. Tapi, tanpa sepengetahuan Nino,
Olin tersenyum lega, puas akan usahanya selama ini, tak sia-sia.
***
Beberapa
tahun kemudian…
Langit siang
begitu panas, tapi nyali Pangeran muda itu pantang menyerah untuk menyusuri
hutan mencari gadis yang disebutkan orang aneh itu dalam mimpinya.
Ya! Seorang
gadis yang bisa mengembalikan nada harmoni bintang itu kepadanya sekaligus
mengembalikan kebahagiaan yang telah dirampas darinya.
Tok-Tok-Tok!!
Pintu kayu
jati pu berbunyi. Kemudian keluarlah seorang gadis cantik jelita.
“Ada perlu
apa anda kemari wahai pemuda?” Tanya gadis itu saat membukakan pintu.
“Mmm..
begini..” dan mengalirlah cerita itu ke telinga sang gadis.
Gadis itu
memerhatikan dengan seksama. “Namun, apa yang dapat kulakukan untukmu wahai
pemuda?? Sedangkan disini aku hanya tinggal sendiri. Tapi, mungkin aku dapat
memberikan sesuatu padamu” kata gadis itu kemudian mengambilkan sesuatu benda
yang berdebu.
“Mungkin ini
berguna untuk kamu wahai pemuda, ambillah, ini adalah barang peninggalan
turun-menurun di keluargaku, tolong jaga baik-baik yaa” kata gadis itu lagi.
Perlahan-lahan
dirabanya lukisan piano itu, benar-benar nyata! Ternyata lukisan itu memang ada!
Tiba-tiba sang pangeran tersenyum.
“Syukurlah
sekarang engkau bisa tersenyum lagi wahai pemuda, memang, kehidupan tanpa
kebahagian itu membuat kita tenggelam dalam tekanan” kata gadis itu bijak.
“menurut
yang kudengar dari ayahku memang orang dari turunan keluargaku terdahulu yang
mempunyai lukisan itu memang aneh, dan kau tahu wahai pemuda? Hanya orang-orang
pilihan yang dapat mendengar nada itu, yaitu orang yang mempunyai tanda lahir
disini” tunjuk gadis itu ke telinganya.
Pangeran meraba
telinganya, memang benar apa yang dikatakan gadis ini. Kemudian, melihat kertas not balok dari nada
harmoni bintang itu terjatuh.
Pangeran
membukanya “Apakah kau bisa memainkan dan mengajariku nada harmoni bintang
itu??” Tanya sang pangeran sambil menyerahkan gulungan kertas not itu.
Gadis itu
mengangguk dan tersenyum tulus. “Dengan senang hati”
Perlahan
gadis itu meletakkan jari-jari mungilnya diatas lukisan tuts piano itu, dan
mengalunlah suara harmoni bintang, memecah kensunyian sore itu, diiringi
senyuman kedua pemuda-pemudi itu bersamaan.
THE END